Siasat Penguasa di Balik Revisi UU Pemilu

Siasat Penguasa di Balik Revisi UU Pemilu

Balinghasai Farms - Niat awal penyelenggaraan pilkada / pilkada ditujukan untuk efisiensi dan efektifitas dalam prosesnya. Namun dalam pelaksanaannya, beberapa pilkada dan pilkada yang telah dilaksanakan secara serentak, dengan mengacu pada lanskap empiris selama ini membawa permasalahan baru yang kompleks dan pelik. Kompleksitas dan kompleksitas ini akhirnya tidak lagi sesuai dan sejalan dengan semangat tujuan awal undang-undang tersebut. Permasalahan baru yang muncul tidak pernah diprediksi oleh legislator, sehingga banyak permasalahan yang tidak relevan lagi dengan regulasi yang ada. Bahkan melihat ke belakang, undang-undang pemilu yang mengatur keserentakan pemilu ini memiliki partisipasi publik yang sangat sedikit.

Menurut saya, berdasarkan pengalaman masa lalu, undang-undang pemilu selalu digunakan untuk kepentingan sementara dan pragmatis elit politik. Produk hukum yang lahir dari proses semacam ini tentunya tidak logis digunakan dalam jangka waktu yang lama, karena para pembuat undang-undang sendiri berhasil memuluskan agenda jangka pendek kepentingan masing-masing partai, sehingga perubahan politik yang begitu cepat dan dinamis menjadikan produk undang-undang ini. ketinggalan jaman dan tidak relevan. Gelombang protes penyelenggaraan pilkada serentak sudah berkecamuk sejak awal, berpuncak pada Pemilu 2019, yang menuntut banyak petugas KPPS yang sudah meninggal tidak boleh terulang, melalui pengujian UU Pilkada.

Pilkada di tengah pandemi dianggap kualitas demokrasi. Tidak perlu ada alergi untuk mengevaluasi pemilu serentak melalui revisi undang-undang pemilu, dan hal itu semakin mendesak untuk dilakukan. Namun, di tengah suara desakan yang kuat dan kemauan publik untuk meninjau kembali UU Pemilu, pemerintah melontarkan berbagai argumen dan pemikiran serta menolak peninjauan tersebut. Sikap ini tentunya jauh melampaui nalar yang logis dan terkesan sangat kontradiktif dengan dalil-dalil yang datang dari pemerintah sendiri, apalagi ketika masyarakat meminta agar Pilkada 2020 ditunda serentak.

Namun demikian, pemerintah tetap ngotot untuk menyelenggarakan Pilkada serentak 2020 dengan berbagai dalil / alasan, diantaranya untuk melindungi hak konstitusional rakyat untuk dipilih dan memilih, maka inilah alasan kuat pemerintah untuk tidak menginginkan eksekutif. (Plt) untuk melayani secara serentak di 270 wilayah. Plt jangan mengambil kebijakan strategis karena situasi pandemi yang menuntut aparat daerah mengambil kebijakan strategis, maka alasan pilkada bisa bersifat ekonomi, menjadi rangsangan ekonomi, pilkada menggerakkan perekonomian karena perputaran uang yang besar dan bermacam-macam. jenis argumen lainnya. Saya kira pemerintah saat ini sedang dilanda kehilangan ingatan, mengapa argumen yang mereka gunakan untuk menyelenggarakan pilkada tahun lalu begitu cepat terlupakan? Argumen yang sama mengapa tidak digunakan lagi untuk secara konsisten menormalisasi jalur pilkada serentak tahun 2022 dan 2023?

Bagaimana mungkin pemerintah dalam akal sehat / awalan hanya akan mendukung pilkada serentak pada 2024 dan menunjukkan bahwa tidak akan ada pilkada serentak pada 2022-2023? Artinya, akan ada sekitar 272 kepala daerah PLT? Inilah yang merusak kualitas demokrasi, ketidakharmonisan, kekacauan. Sementara pengetahuan saya luas, prasyarat negara demokrasi bisa diperbaiki, yaitu pertukaran elite penguasa / kepala daerah secara teratur. Saya perhatikan banyak kepala daerah yang dituntut karena jabatannya direduksi hanya demi ambisi pilkada serentak. Inilah yang saya maksud dengan kelemahan inheren dalam demokrasi karena pemerintah tidak konsisten dalam pendiriannya.

Jika pemerintah tetap ngotot menolak meninjau UU Pemilu, terutama yang terkait dengan keterkaitan serentak ini, apakah publik harus curiga terhadap kepentingan apa yang mereka perjuangkan? Faktanya, pada 2022 terdapat 101 kepala daerah yang masa jabatannya telah berakhir, dan 171 pejabat akan berakhir pada 2023. Kepala daerah yang habis masa jabatannya ini merupakan hasil dapil 2017 dan 2018. Apakah Presiden merasa kurang kuat dengan kekuasaan / legitimasi yang dimilikinya, sehingga berambisi untuk mengontrol kepala daerah / tegak lurus dengan presiden melalui tindakan yang ditunjuk oleh Kemendagri, padahal kita tahu bahwa Kementerian Dalam Negeri adalah asisten presiden yang ditunjuk oleh presiden? Atau karena menantu presiden ikut dalam partai pilkada dan memenangkan Pilkada Solo dan Medan, presiden tidak mendukung semua pilkada serentak pada 2022-2023.

Belum lagi akumulasi penyelenggaraan pilpres, legislatif dan pilkada serentak tahun 2024 tidak main-main, dan mitigasi pilkada dari hulu ke hilir sangat pelik, persoalannya sangat beresiko gejolak besar-besaran di Indonesia. komunitas. Selain itu, pilkada serentak yang menumpuk jelas membutuhkan tenaga dan menguras tenaga KPU untuk menyelenggarakannya. Bawaslu, mahkamah konstitusi juga akan kewalahan dengan banyaknya sengketa pemilu. Apalagi berpotensi mengulang tragedi petugas KPPS yang meninggal akibat proses penghitungan suara yang memakan waktu lama. Yang lebih berbahaya dari semua ini adalah upaya sistematis bertahap untuk membunuh demokrasi lokal dengan menghalangi kebangkitan elit politik lokal dan mencegah rakyat menggunakan hak konstitusionalnya.

Karena demokrasi benar-benar merupakan cara publik untuk secara teratur membubarkan dan meregenerasi elit untuk menduduki jabatan politik secara konstitusional. Jika jalur ini dihalangi, perlahan-lahan demokrasi akan mati dan pemerintah akan menggeser pendulum demokrasi dan otonomi daerah menjadi pemerintahan yang tersentralisasi oleh kepala daerah melalui plt. Otonomi daerah kelam dan mundur di era pemerintahan saat ini. Jika keadaan ini terus berlanjut dan dibiarkan, bukan tidak mungkin kita akan menelan pil pahit lagi di bawah cengkeraman pemerintahan yang otoriter. Inilah yang saya khawatirkan.

Sumber: https://www.sukabuminewsupdate.com/